Menanggapi Koment Negatif dari "Piutang Negara di BUMN
Mencapai Rp90 Triliun"
Kuta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI, I Gusti Agung Rai
Wirajaya mengatakan piutang negara yang masih tercatat paling banyak ada di
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai Rp90 triliun lebih.
"Dari jumlah tersebut yang sudah disetorkan ke panitia
urusan piutang negara (PUPN) mencapai Rp20 triliun. Ini artinya masih cukup
banyak piutang negara di badan usaha milik negara tersebut," kata Rai
Wirajaya pada seminar yang bertema " Dampak Keputusan MK tentang Hapus
Tagih pada Bank Pemerintah" di Kuta, Bali, Kamis.
Ia mengatakan walau piutang tersebut bagian pemerintah yang
sudah dipisahkan, namun dari kepemilikan aset masih dikuasai lebih banyak
pemerintah itu sendiri.
"Memang mengacu pada Undang-Undang No 49 Prp Tahun 1960
sebagai landasan definisi piutang negara dan pengurusan piutang negara
menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011,"
katanya.
Sehingga amar putusan MK tersebut seolah-olah ditafsirkan
bahwa piutang bank negara (BUMN) tidak tergolong dalam piutang negara, akan
tetapi dalam amar putusan tersebut dapat ditafsirkan secara tegas bahwa
pengurusan piutang bank negara bukanlah kewenangan PUPN.
Oleh karena itu, kata dia, memaknai putusan MK bahwa piutang
negara hanyalah piutang pemerintah pusat atau pemerintah daerah saja, maka Bank
BUMN dalam hal ini Bank Pembangunan Daerah yang terbentuk perseroan terbatas
dan kekayaannya telah dipisahkan dari pemerintah daerah.
"Dengan kondisi tersebut semestinya manajemen bank BUMD
sudah bisa menyelesaikan piutangnya sendiri dengan tidak melimpahkan kepada
PUPN," ucap politikus PDIP asal Peguyangan, Kota Denpasar itu.
Dikatakannya putusan MK tersebut merupakan langkah strategis
bagi bank BUMN/BUMD dalam hapus tagih.
Namun dalam pelaksanaan hapus tagih piutang bank BUMN atas
dasar putusan MK tersebut masih memerlukan kesepakatan dan pemahaman bersama
serta standarisasi mekanisme hapus tagih agar tidak selang pendapat dari para
pemangku kepentingan, khususnya dari aspek legalitas, pemerintahan dan bisnis
yang akhirnya justru menjadi kontra produksi.
"Terhadap hal ini kami menyikapi secara hati-hati,
mengingat aset bank negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sehingga
dapat dikelompokan sebagai piutang negara," katanya.(rr)
Sanggahan 1
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan
mengumumkan sisa jumlah piutang negara hingga akhir 2012 adalah sebesar Rp 49,2
triliun. Total piutang tersebut terdiri dari piutang obligor eks Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 24,5 triliun dan piutang Badan
Usaha Milik Negara mencapai Rp 27,8 triliun.
Sesuai keputusan
Mahkamah Konstitusi, piutang BUMN tidak lagi dianggap sebagai piutang
negara. Jumlah sisa
piutang ini membaik dibandingkan tahun lalu.
"Sampai akhir 2013, pemerintah berhasil menagih piutang
sejumlah Rp 1,001 triliun. Ini melampaui target Rp 900 miliar," kata
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto dalam laporan kinerja 2012 di
kantornya pada Jumat, 18 Januari 2013.
Direktur Piutang Kekayaan Negara, Soepomo mengatakan,
piutang yang belum tertagih memiliki batas waktu penagihan sampai 2014. Dia
mengaku selama ini pemerintah memang masih sulit menagih utang dari para
obligor BLBI. "Sebagian sudah terlanjur
melarikan diri ke luar negeri," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah melakukan debtor
tracking dan asset tracking untuk mengejar para pengutang kakap ini. Menurut
Soepomo, jumlah piutang dari tiap obligor berbeda, tapi yang paling besar
berutang pada negara sampai Rp 8 triliun.
Selain itu, pada 2012 lalu, pemerintah juga berhasil
melelang sejumlah aset yang yang dikelola Pusat Pengelola Aset (PPA) dari
bank-bank yang dilikuidasi. Hasil asset recovery itu sebesar Rp 1,14
triliun.
Hadiyanto menambahkan, hingga semester I/2012, pemerintah
telah melakukan inventarisasi dan penilaian terhadap barang milik negara.
Ditemukan bahwa total aset milik negara senilai Rp 1.726 triliun.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2013/01/18/092455378/Total-Piutang-Negara-Tinggal-Rp-492-Triliun
Sanggahan 2
Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(FITRA) merilis hasil audit BPK semester II tahun 2012. Hasilnya, sedikitnya 15
kementerian diduga merugikan negara.
"Menteri-menteri dari partai politik dalam pengelolaan
anggaran mereka sangat jelek dan ambradul sehingga ditemukan adanya indikasi
kerugian Negara. Indikasi kerugian negara ini sangat merugikan masyarakat
sebagai pembayar pajak," kata Uchok Sky Khadafi, Direktur Investigasi dan
Advokasi Fitra, dalam siaran pers, Kamis (12/5/2013).
Indikasi kerugian negara tersebut ditemukan dalam Audit BPK
tahun 2012 semester II. BPK yang mencatat bahwa kerugian negara sebesar Rp
8.311.534.656.000 untuk 1.950 kasus untuk 15 lembaga atau kementerian.
"Yang dimaksud dengan kerugian negara, ada dua
kategori, yang pertama laporan kementerian tidak sesuai standar auditor, maka
uang negara belum dikembalikan ke kas negara; yang kedua, pemerintah sama
sekali belum menindaklanjuti hasil temuan auditor negara, dan berarti
pemerintah belum mengembalikan uang negara ke kas negara," papar Uchok.
Berikut 15 Kementerian yang berdasarkan Audit BPK semester
II tahun 2012 terindikasi merugikan negara:
1. Kementerian Kehutanan, kerugian Negara Rp 7,1 triliun
dengan 278 kasus.
2. Kementerian ESDM , kerugian Negara Rp 379,1 miliar dengan
72 kasus.
3. Kemenko Kesra, kerugian negara Rp 268,9 miliar dengan 76
kasus.
4. Kementerian Pertanian, kerugian negara Rp 200,4 miliar
dengan 127 kasus.
5. Kemenkominfo, kerugian negara Rp 174 miliar dengan 198
kasus.
6. Kementerian Agama kerugian negara Rp 79 miliar dengan 572
kasus.
7. Kementerian Sosial, kerugian negara Rp 17,6 miliar dengan
84 kasus.
8. Kementerian Nakertrans, kerugian negara Rp 17 miliar
dengan 115 kasus.
9. Kementerian Perhubungan, kerugian negaran sebesar Rp 11
miliar dengan 167 kasus.
10. Kementerian Perumahaan Rakyat kerugian negara Rp 7,9
miliar dengan 15 kasus.
11. Kementerian Kelautan dan Perikanan kerugian negara Rp
7,6 miliar dengan 138 kasus.
12. Kementerian Koperasi dan UKM, kerugian negara Rp 5,7
miliar dengan 17 kasus.
13. Kementerian Hukum dan HAM, kerugian negara sebesar Rp
2,4 miliar dengan 71 kasus.
14. Kementerian PDT, kerugian negaran sebesar Rp 888 juta
dengan 14 kasus.
15. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, kerugian negara
Rp 566 juta dengan 6 kasus.
BPK belum memberikan keterangan resmi terkait hal ini. 15
kementerian yang disebutkan juga belum bisa diklarifikasi terkait hasil audit
BPK ini.
Kesimpulan : Jadi kinerja Dahlan Iskan dalam memimpin BUMN
makin maju , bukan makin mundur,
0 Response to "Menanggapi Koment Negatif Pak Dahlan Iskan dari "Piutang Negara di BUMN Mencapai Rp90 Triliun""
Post a Comment